Jumat, 18 November 2011

SEMUA ADA HARGANYA


“Semua ada harganya”. Demikian kata itu terucap dari seseorang.

Fenomena dagang saat ini sudah memasuki hampir seluruh aspek kehidupan...

Karena niatnya dagang, beberapa acara dakwah di TV hampir tak ada bedanya dengan komedi. Apa yang dibicarakan oleh ustad sudah tak penting lagi. Yang penting bagaimana ustad itu dandan, tampil, membuat orang tertawa, rating naik, iklan lancar, duit masuk.



Karena niatnya benar-benar hanya uang dan hanya uang, maka sekian banyak film – film dibuat hanya untuk memenuhi selera pasar, adegan kekerasan, buka –buka paha, ciuman …jangan bicara kualitas dan tanggung jawab moral, semua itu sudah tidak penting lagi. Yang penting penonton senang, tiket terjual.

Buku – buku juga dibuat dengan semangat dagang, tak perlu membuat buku yang serius dan pembahasan yang mendalam, buat saja buku yang ngawur, super ngawur, tulis “bagaimana cara cepat menjadi kaya”, “Bagaimana bisa kaya dengan hanya bermimpi”, “Bagaimana menarik hati banyak wanita”, “Kiat kuat di ranjang”, ikuti keinginan pasar, buku laris manis seperti kacang goreng...

Dagang. Jual beli tak cuma ada di pasar, tapi masuk ke gedung – gedung pemerintahan, tawar menawar komisi proyek, masuk ke ruang-ruang sidang, nego 30% dari nilai anggaran, bahkan “penawaran harga diri” bisa terjadi untuk men - ‘deal’ kan - sebuah hubungan ‘percintaan’ : “Kalau kamu mau menjadi istriku, aku akan berikan rumah, mobil dan uang belanja sekian rupiah sebulan (Baca : berapa rupiah sih harga kamu ?) “. Sekian banyak wanita kemudian berteriak : “Yes I doooo ….”.

Ketika semua hal – termasuk masalah percintaan - hanya dihargai oleh uang, maka tidak penting lagi nilai – nilai moral, cinta sejati atau kasih sayang, masa bodo dengan etika atau kesetiaan. Yang muncul kemudian adalah hasrat untuk melampiaskan nafsu yang teramat dangkal, banal.

Ini memang jaman kalatida. Hampir tak ada lagi yang menghargai sesuatu yang tidak bernilai uang . Nilai – nilai luhur, cinta dan kesetiaan nyaris tergusur oleh budaya materialisme dan … narsisme ! Yang penting terlihat kaya, masa bodo duitnya darimana, masa bodo kerjanya apa. Yang penting dilihat orang, ditonton orang. Narsis.

Ketika nilai – nilai luhur diabaikan, ketika moral dilupakan, ketika cinta dan kesetiaan mudah berpindah bahkan bisa diperjual belikan, ketika uang menjadi satu satunya denominasi, lantas mau jadi apakah kita ?

“Semua ada harganya”. Demikian seorang teman berujar. Saya tertegun. Gamang …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar